Kaltimdaily.com, Hot – Pada dasarnya, paguyuban orang tua di sekolah bertujuan untuk mempererat hubungan antara para orang tua murid dan mendorong partisipasi mereka dalam kemajuan pendidikan. Ide awalnya simpel, yaitu bersama-sama mengawasi perkembangan anak dan berfungsi sebagai pengawas eksternal untuk mencegah adanya maladministrasi di sekolah.
Paguyuban ini seharusnya menjadi tempat untuk kontrol sosial, menjembatani kesenjangan, dan menjadi wadah gotong royong bagi masyarakat. Di sini, orang tua bisa memberikan masukan positif untuk pendidikan dan menjadi contoh dalam menegakkan nilai-nilai kebaikan.
Sayangnya, kenyataan seringkali tak seindah harapan. Beberapa tahun terakhir, paguyuban di sejumlah sekolah justru berubah fungsi menjadi pintu masuk bagi pungutan yang tidak seharusnya.
Hal ini merusak citra pendidikan yang seharusnya menjadi tempat di mana kejujuran, etika, dan kebajikan dijunjung tinggi.
Modusnya beragam. Mulai dari inisiatif sendiri atau permintaan sekolah untuk meningkatkan fasilitas, seperti ruang kelas, tempat ibadah, hingga pembelian LKS, kalender sekolah, seragam, biaya perpisahan di tempat mahal, tambahan biaya les di sekolah, dan berbagai alasan lainnya.
Biasanya, pengurus utama paguyuban adalah orang tua yang memiliki kemampuan finansial yang cukup, pejabat atau tokoh masyarakat, dan seringkali punya hubungan dekat dengan pihak sekolah.
Demi pendidikan anak, dan dorongan dari sekolah, para orang tua ini akhirnya ikut terlibat dalam mengelola sumbangan.
Akhirnya, mereka membentuk grup per kelas atau per angkatan, dan mulai menyebarkan informasi mengenai besarnya sumbangan yang harus dikumpulkan dalam batas waktu tertentu. Lagi-lagi, alasan yang diberikan adalah untuk membantu sekolah.
Tapi, di balik itu semua, ada orang tua yang sebenarnya merasa keberatan dengan pungutan ini, terutama mereka yang berasal dari kalangan kurang mampu.
Mereka hanya bisa diam, meskipun hati mereka menolak dan merasa tertekan.
Rasa tidak nyaman ini semakin besar karena adanya tekanan psikologis dan beban mental yang tak terungkapkan, sehingga akhirnya mereka setuju untuk membayar, meski dengan sangat terpaksa.
Fenomena ini juga ditemukan oleh Ombudsman, di mana beberapa pengurus paguyuban ternyata adalah ibu-ibu sosialita yang sering nongkrong di sekolah atau jalan-jalan saat anak-anak mereka sedang belajar.
Mereka bahkan rela mengeluarkan uang lebih untuk membayar guru les tambahan di sekolah, sehingga anak-anak mereka bisa belajar hingga sore hari.
Para ibu ini seringkali menjadi penggerak untuk mengakomodir sumbangan tambahan, seperti biaya les, perpisahan, dan jasa guru dengan jumlah dan waktu yang ditentukan.
Para orang tua lainnya pun merasa terpaksa ikut, meskipun hati mereka menolak. Mereka khawatir jika tidak ikut, anak-anak mereka akan mendapat perlakuan yang tidak adil.
Para orang tua yang kurang mampu inilah yang biasanya mengadu dan berkonsultasi dengan Ombudsman.
Mereka merasa bingung, tertekan, bahkan ada yang menangis karena tidak tahu bagaimana cara mengatasi masalah ini.
Dari laporan yang mereka sampaikan, ada guru yang menyampaikan ancaman “bersayap” kepada siswa, bahwa jika tidak ikut les tambahan, mereka tidak akan bertanggung jawab atas kelulusan siswa tersebut.
Ancaman ini membuat siswa merasa terbebani, dan akhirnya curhat kepada orang tua mereka, yang kemudian ikut memikul beban yang sama.
Kejadian seperti ini terus berulang setiap tahun, dan selalu dilaporkan ke Ombudsman. Dampaknya beragam, mulai dari penahanan ijazah, larangan ikut ujian, hingga bullying dan beban mental lainnya.
Padahal, paguyuban bukanlah komite sekolah, meskipun fungsinya seringkali dianggap sama.
Ombudsman pun tidak tinggal diam. Mereka telah berkali-kali mengeluarkan saran dan tindakan korektif, menginisiasi sanksi bagi oknum di sekolah, mediasi, hingga bekerja sama dengan tim saber pungli untuk melakukan operasi tangkap tangan (OTT).
Namun, tampaknya Dinas Pendidikan dan pihak sekolah terkesan lalai dan abai. Seolah ada permainan mata, tanpa adanya sistem deteksi dini yang kuat.
Ke depan, harus ada ketegasan dari semua pihak. Sekolah dan dinas pendidikan harus sepakat untuk tidak menutup mata terhadap masalah pungutan ilegal ini.
Para wakil rakyat juga harus peduli, dan tidak membiarkan pendidikan menjadi tempat di mana ketidakjujuran dan ketidakadilan merajalela. Semoga hal ini bisa segera berakhir. (*)