**Kisah Pilu Edelweiz Auradiva, Kiper Timnas U-17 Gagal Masuk Sekolah Lewat Jalur Prestasi**
Edelweiz Auradiva, kiper utama timnas wanita U-17, harus merasakan pahitnya kegagalan saat mencoba masuk SMKN 1 Balikpapan melalui jalur prestasi.
Padahal, prestasinya sebagai kiper utama di timnas Garuda Pertiwi U-17 jelas sangat membanggakan dan langka di Indonesia.
Sayangnya, Edelweiz tak berhasil lolos di Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) melalui jalur prestasi. Padahal, secara prestasi, gadis ini jelas memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan siswa lain karena statusnya sebagai atlet nasional.
Orangtua Edelweiz, Dedi Achmad, menjelaskan bahwa anaknya ingin masuk ke SMKN 1 Balikpapan secara normal melalui jalur prestasi.
“Ceritanya kita daftar normal, anaknya mau sekolah di SMK 1. Kita daftar di Cabang Dinas Pendidikan Wilayah I Kaltim untuk verifikasi data prestasi,” katanya pada Rabu, 3 Juli 2024.
Dedi sudah melampirkan berbagai penghargaan yang diraih Edelweiz, termasuk juara 2 Piala Gubernur Kaltim U-17 pada 2023, sesuai dengan permintaan panitia yang membutuhkan satu penghargaan nasional.
“Kita sudah melampirkan juara 2 Piala Gubernur dua kali, Piala Pertiwi dua kali, regional dan nasional. Tapi kok belum masuk-masuk,” ungkapnya.
Dedi bahkan membawa rekomendasi dari PSSI ke sekolah, namun tetap tak menemukan solusi.
“Akhirnya, saya nunggu dua hari sampai hari pendaftaran online prestasi. Tapi tetap tidak ada jalan keluar,” ujarnya.
Terpaksa, Edelweiz didaftarkan ke sekolah swasta di Samarinda.
“Prestasinya nggak dianggap, apalagi kepala sekolahnya justru meminta Edelweiz masuk lewat jalur non-prestasi, semakin tidak mungkin,” imbuh Dedi dengan sedih.
Kepala SMKN 1 Balikpapan, Mujadi, menjelaskan bahwa ketidaklulusan Edelweiz karena nilai akademisnya kalah saing.
“Nilai terendah yang diterima itu 480, sedangkan nilainya Edelweiz 426. Pilihan pertama dia itu SMKN 3, kemudian SMKN 1 dan SMKN 4,” katanya.
Rekomendasi dari PSSI tidak terbaca oleh sistem PPDB online.
“Di Juknis memang harus pakai online, jadi rekomendasinya tidak terbaca di sistem,” jelas Mujadi.
Kisah ini menjadi bukti bahwa sistem seleksi pendidikan masih perlu perbaikan agar bisa lebih adil dan menghargai prestasi di berbagai bidang, termasuk olahraga. (*)